Search

Tentang Lahan Gambut

Berdasarkan data Global Wetlands yang kami akses melalui laman Katadata, lahan gambut di Indonesia memiliki luas 22,5 juta hektar.

Luas tersebut menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan gambut terluas ke dua setelah Brazil diantara 5 negara terbesar yang memiliki lahan gambut.

Ingin tahu lebih banyak tentang gambut? Simak ulasan berikut ini.

Tentang Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan lahan yang tersusun atas pelapukan bahan organik atau sisa-sisa tumbuhan. Maka dari itu gambut disebut sebagai lahan yang kaya akan bahan organik dengan C-organik > 18%. Selain itu, tidak semua lahan yang tersusun oleh bahan organik dapat dikategorikan sebagai lahan gambut. Suatu lahan dapat dikategorikan sebagai lahan gambut apabila ketebalan bahan organiknya di atas > 50 cm. Gambut banyak dijumpai di wilayah rawa belakang (back swanmp).

Pembentukan Lahan Gambut

Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Dari gambaran tersebut, pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Menurut Noor, 2001 (dari berbagai sumber), pembentukan gambut bervariasi tergantung kondisi alam lokasinya. Rata-rata laju pertumbuhan gambut berkisar 0.3mm per tahun. Terbentuknya lahan gambut diawali oleh adanya danau dangkal. Danau tersebut secara perlahan ditumbuhi oleh tumbuhan air dan tumbuhan lahan basah. Seiring berjalannya waktu, tumbuhan tersebut mati dan melapuk, kemudian secara perlahan, sisa tumbuhan yang mati tersebut menumpuk dan membuat sebuah lapisan bahan organik. Lapisan pertama ini disebut lapisan transisi antara gambut dan tanah mineral. Bahan organik yang menumpuk pada awal mula proses pembentukkan ini disebut dengan gambut topogen. Gambut topogen relatif subur karena masih ada pengaruh dari bahan mineral. Oleh karena itu, masih ada tanaman lain yang dapat tumbuh di atasnya. Siklus tumbuh, mati dan melapuk terus terjadi hingga adanya lapisan bahan organik baru yang menumpuk di atas gambut topogen. Tumpukan bahan organik di atas gambut topogen kemudian dikenal dengan gambut ombrogen.

Jenis Lahan Gambut

A. Berdasarkan Tingkat Kematangan
  1. Gambut Saprik (Matang): melapuk lanjut, bahan asal tidak dikenali, warna coklat tua sampai hitam, bila diremas kandungan seratnya < 15%.
  2. Gambut Hemik (setengah matang): setengah lapuk, sebagian bahan asalannya masih dapat dikenali, berwarna coklat, bila diremas seratnya 15-75%.
  3. Gambut Fibrik (mentah): belum melapuk, bahan asalanya masih dapat dikenali, bewarna cokat, bila diremas, seratnya masih tersisi >75%.
B. Berdasarkan Tingkat Kesuburan:
  1. Gambut Eutrofik: tingkat kesuburan tinggi, kaya bahan mineral dan unsur hara lainnya, biasanya tipis, dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
  2. Gambut Mesotrofik: tingkat kesuburan sedang, kandungan bahan mineral dan unsur hara lainnya sedang.
  3. Gambut Oligotrofik: tingkat kesuburan rendah, bahan mineral dan basa-basa rendah, bagian kubah atau gambut tebal, jauh dari pengaruh lumpur sungai.
C. Berdasarkan Lingkungan Pembentukan
  1. Gambut Topogen, gambut yang terbentuk dari pengayaan air pasang dan gambut ini cenderung subur.
  2. Gambut Ombrogen, pembentukkan lahan gambut ini hanya dipengaruhi oleh air hujan.
D. Berdasarkan Lokasi Terbentuknya
  1. Gambut pantai, gambut yang berada di dekat pantai laut dan mendapat pengayaan mineral laut.
  2. Gambut pedalaman, gambut yang berada di wilayah yang tidak dipengaruhi pasang surut air laut dan hanya bergantung pada air hujan.
  3. Gambut  transisi, gambut yang berada diantara kedua wilayah yang telah disebutkan sebelumnya.
E. Berdasarkan Kedalaman
  1. Gambut dangkal, ketebalan 50-100cm.
  2. Gambut sedang, ketebalan 100-200cm.
  3. Gambut dalam, ketebalan 200-300cm.
  4. Gambut sangat dalam, ketebalan >300cm.

Karakteristik Lahan Gambut

A. Sifat Fisik Ada beberap sifat fisik lahan gambut yang penting untuk dipelajari, yaitu kadar air, berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan (subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).
  1. Kadar air, berkaitan dengan kemampuan gambut untuk menyerap air. Berdasarkan penuturan dari berbagai sumber, gambut memiliki kemampuan menyerap air lebih tinggi dibandingkan tanah mineral. Hal tersebut bisa terjadi karena gambut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi pula. Menurut Mutalib et al, 1991, kadar air gambut berkisar 100-1.300%, sehingga gambut dikatakan dapat menyerap air 13 kali dari bobotnya, sedang tanah minerala hanya berkisar 25-35% dari bobot keringnya.
  2. Berat isi (bulk density) merupakan berat massa padatan tanah dalam volume tertentu dan dinyatakan dalam satuan g cm-3, kg dm-3, atau t m-3. Berat isi berkaitan erat dengan sifat tanah lainnya seperti porositas, kemampuan menahan beban, dan potensi menyimpan air. Berat isi gambut berbeda-beda, tergantung dari jenis gambut itu sendiri.
    • Gambut fibrik di lapisan sawah memiliki berat isi <0,1 g cm-3.
    • Gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai relatif tinggi, yakni >0,2 g cm-3 (Tie and Lin, 1991) karena adanya pengaruh bahan mineral.
  3. Penurunan permukaan (subsidence) merupakan fenomena yang sering dialami oleh lahan gambut, terutama yang telah didrainase. Air yang keluar akibat pembukaan drainase menyebabkan gambut mengkerut dan mengempis. Selain itu, keluarnya air dari gambut menyebabkan peralihan kondisi dari anaerob ke aerob. Kondisi aerob menyebab kondisi mikroba pembusukkan menjadi aktif sehingga pelapukkan gambut menjadi lebih cepat.
  4. Daya Menahan Beban. Sifat fisik tanah gambut yang satu ini juga merupakan penghambat produkstifitasnya. Seperti yang kita ketahui, tanah gambut lemah dalam menahan beban karena kepadatannya. Contohnya, gambut matang yang relatif lebih padat cenderung lebih mampu menahan beban yang lebih tinggi dari jenis gambut lainnya.
  5. Kering Tak Balik (irreversible drying). Kering tak balik merupakan sifat fisik gambut yang juga sangat penting untuk diperhatikan. Pasalnya, ketika sudah kering, gambut tidak dapat lagi menyerap air. Gambut dengan kondisi seperti ini tidak lagi produktif untuk digunakan dan sangat mudah terbakar. Indikator dari kondisi ini adalah kadar air gambut <100% dari berat umumnya. Selain itu, gambut yang sudah mengalami fase ini akan terlihat mengambang di atas permukaan air.
B. Sifat Kimia
  1. Kemasaman Tanah (pH). Gambut, terutama yang berada di di wilayah tropis, cenderung memilliki tingkat kemasaman yang tinggi, yaitu ber pH 3-5. Tingginya pH tanah gambut dipengaruhi oleh asam-asam dari bahan organik (Charman, 2002). Kemasaman tanah gambut cenderung menurun seiring dengan kedalaman gambut. Pada lapisan atas pada gambut dangkal cenderung mempunyai pH lebih tinggi dari gambut tebal (Suhardjo dan Widjaja-Adhi,1976).
  2. Kapasitas Tukar Kation (KTK). Di laman Wikipedia, KTK merupakan kemampuan tanah untuk menjerap dan menukar atau melepaskan kembali ke dalam larutan tanah. Kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah gambut sangat tinggi, berkisar 100-300 me 100g-1 berdasarkan berat kering mutlak (Hartatik dan Suriadikarta, 2006). Meski KTK gambut tinggi, namun kekuatan jerapannya lemah sehingga kation seperti K, Ca, Mg, dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
  3. Kadar Asam Organik. Tanah gambut tropis mempunyai kandungan lignin dan dekomposisi dari lignin menghasilkan asam organik diantaranya fenolat. Asam-asam fenolat tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman, serta tersedianya unsur hara dalam tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat toksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Driessen, 1978).
  4. Ketersediaan Hara Makro dan Mirko. Secara alamiah tanah gambut memiliki tingkat kesuburan rendah, karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Ketersediaan hara makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut umumnya rendah, meskipun pada umumnya kandungan N, P, K total tinggi (Wong et al., 1986 dalam Mutalib et al., 1991). Hal ini sejalan dengan ketersediaan hara mikro, seperti Cu, Bo, dan Zn di lahan gambut umumnya sangat rendah dan seringkali terjadi defisiensi (Wong et al., 1986 dalam Mutalib et al, 1991).
Itu lah sekilas informasi tentang lahan gambut. Diolah dari berbagai sumber.

Our Projects

Coservation and Sustainable Livelihoods

Good Agriculture Practices

Jurisdictional Approach to REDD+

PES Project Engagement Platform

©2022 Bentang Kalimantan Tangguh